COLOMBO, iNews.id - Sri Lanka , negara kepulauan di Samudra Hindia, hari ini sedang kacau balau setelah bangkrut dan gagal membayar utang luar negerinya.
Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe telah dipaksa lengser setelah ribuan demonstran yang marah menyerbu Istana Kepresidenan sejak Sabtu malam lalu. Massa juga membakar kediaman perdana menteri.
Seberapa besar sebenarnya utang luar negeri Sri Lanka yang membuat negara itu menjadi kacau?
Mengutip laporan BBC, Sri Lanka sedang berusaha untuk merestrukturisasi utang lebih dari USD50 miliar (lebih dari Rp748 triliun) yang harus dibayar kepada kreditur asing, agar lebih mudah dikelola untuk membayar kembali.
Perekonomian negara itu telah terpukul keras oleh pandemi COVID-19 dan kenaikan harga energi. Namun, para kritikus mengatakan krisis saat ini telah dibuat oleh pemerintah itu sendiri sebelumnya.
Kekurangan kronis mata uang asing atau devisa dan inflasi yang melonjak telah menyebabkan kekurangan obat-obatan, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya yang parah.
Sri Lanka telah gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya dalam sejarahnya ketika negara itu berjuang dengan krisis keuangan terburuknya dalam lebih dari 70 tahun.
Masa tenggang 30 hari untuk menghasilkan USD78 juta pembayaran bunga utang yang belum dibayar berakhir pada pertengahan Mei 2022.
Gubernur bank sentral setempat saat itu mengatakan negara itu sekarang dalam "default pre-emptive".
Pada 19 Mei 2022, dua lembaga pemeringkat kredit terbesar di dunia juga mengatakan Sri Lanka telah gagal bayar utang alias default. Default terjadi ketika pemerintah tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh pembayaran utang mereka kepada kreditur.
Ini dapat merusak reputasi suatu negara di mata investor, mempersulitnya untuk meminjam uang yang dibutuhkannya di pasar internasional, yang selanjutnya dapat merusak kepercayaan pada mata uang dan ekonominya.
"Posisi kami sangat jelas, kami mengatakan bahwa sampai mereka datang ke restrukturisasi [utang kami], kami tidak akan mampu membayar. Jadi itulah yang Anda sebut default pre-emptive," kata Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P Nandalal Weerasinghe.
"Mungkin ada definisi teknisnya...dari sisi mereka bisa dianggap default. Posisi kami sangat jelas, sampai ada restrukturisasi utang, kami tidak bisa membayar," ujarnya.
Profesor Mick Moore dari University of Sussex dan mantan konsultan di Sri Lanka untuk Asian Development Bank mengatakan meskipun tampaknya Sri Lanka sedang berjuang dari dampak masalah ekonomi global, secara tegas bukan itu penyebabnya.
"Ini adalah krisis ekonomi paling buatan manusia dan sukarela yang saya tahu," katanya kepada program BBC Today.
Moore mengatakan pemerintahan sebelumnya telah meminjam uang untuk proyek-proyek infrastruktur.
"Kemudian bersikeras dengan cara yang sangat macho untuk membayar utang yang menumpuk, daripada merestrukturisasinya dengan kreditur," ujarnya.
"Pemerintah saat itu berjalan dengan cara ini sampai sekitar enam bulan yang lalu dan pada dasarnya mereka telah memberikan hampir semua valuta asing yang bisa mereka kuasai," imbuh dia. "Ini adalah inkompetensi yang mengerikan."
Negara tersebut telah memulai pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai bailout dan perlu menegosiasikan kembali perjanjian utangnya dengan kreditur.
Namun kondisi berubah menjadi semakin kacau setelah Presiden Rajapaksa dan PM Wickremesinghe sepakat mengundurkan diri pada Rabu nanti di tengah tekanan rakyat yang marah.
Kedua pemimpin itu telah melarikan diri dari kediamannya setelah diserbu ribuan demonstran. Mereka dilaporkan mengungsi di markas militer demi keselamatan.
Editor : Abdulloh Hilmi