JAKARTA, iNewsMadina.id - Tragedi jatuhnya Penerbangan 571 Angkatan Udara Uruguay di Pegunungan Andes pada tahun 1972 menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah penerbangan.
Kecelakaan pesawat yang membawa 45 orang ini menewaskan 29 orang di tempat, dan meninggalkan 16 orang lainnya berjuang untuk bertahan hidup di tengah kondisi yang ekstrem.
Kisah mereka semakin tragis ketika para penyintas terpaksa melakukan kanibalisme, memakan daging manusia yang sudah tewas untuk bertahan hidup. Setelah berminggu-minggu terjebak tanpa makanan dan bantuan, mereka membuat keputusan yang sulit untuk memakan daging rekan-rekan mereka yang telah meninggal.
Keputusan ini didorong oleh rasa putus asa dan dorongan kuat untuk hidup. Bagi para penyintas, kanibalisme adalah pilihan terakhir untuk menghindari kematian.
Meskipun secara moral dan etika tercela, tindakan ini memungkinkan mereka untuk bertahan hidup selama 72 hari di pegunungan yang terpencil dan membeku.
Kisah kanibalisme di Andes menjadi pengingat yang mengerikan tentang batas-batas manusia dalam situasi ekstrem. Ini juga merupakan kisah tentang ketangguhan dan tekad para penyintas yang, meskipun dihadapkan dengan kematian, menemukan kemauan untuk terus hidup.
Tragedi Andes menjadi pelajaran penting tentang pentingnya persiapan dan kewaspadaan dalam penerbangan, serta kekuatan manusia dalam menghadapi situasi yang paling sulit sekalipun.
Awal tragedi terjadi saat d kokpit ada seorang co-pilot yang tidak berpengalaman, yang secara keliru percaya bahwa penerbangan telah mencapai Curicó, Chile, dan memulai penurunan prematur penerbangan ke Bandara Pudahuel.
Pada titik ini, pesawat berada sekitar 40 mil jauhnya dari titik di mana penerbangan akan mulai bersiap untuk mendarat. Terperangkap tidak sadar di tengah penurunan, pesawat bertabrakan dengan sisi gunung—memutuskan bagian ekor dan kedua sayap. Bagian tengah pesawat meluncur menuruni gletser sepanjang 725 meter, sebelum menabrak salju dan es.
Sebanyak 12 dari 45 awak dan penumpang tewas seketika. Selanjutnya 17 orang kehilangan nyawa mereka akibat suhu yang sangat dingin dan luka parah di kemudian hari, dengan 13 di antaranya tewas akibat longsoran salju kurang dari tiga minggu setelah kecelakaan. Mereka yang selamat-–sebuah kelompok secara bertahap berkurang menjadi hanya 16 orang—menghadapi penantian 72 hari yang melelahkan sebelum akhirnya mereka diselamatkan pada 23 Desember.
Lima puluh tahun kemudian, tragedi penerbangan di Andes tetap menjadi sumber intrik besar—daya tarik yang berasal dari para penyintas yang beralih ke kanibalisme agar tetap hidup.
“Tentu saja, gagasan memakan daging manusia itu mengerikan, menjijikkan,” kata Ramon Sabella (70), seorang pengusaha yang jadi salah satu korban selamat, kepada The Times.
“Sulit untuk dimasukkan ke dalam mulut Anda. Tapi kami sudah terbiasa.” Setelah kehabisan stok cokelat, permen, selai, dan anggur yang tidak seberapa—bahkan kapas yang digunakan untuk melapisi kursi pesawat—Roberto Canessa, seorang mahasiswa kedokteran, menggembar-gemborkan gagasan untuk memakan mayat yang berserakan di sekitar badan pesawat yang terdampar.
Menggunakan sepotong kaca, dia adalah orang pertama yang mengukir tubuh teman-temannya. “Saya harus pergi ke keluarga mereka nanti untuk menjelaskan,” katanya, tetapi menambahkan bahwa dia akan menganggapnya sebagai “kehormatan” jika dia meninggal.
Dihadapkan pada situasi hidup dan mati di Pegunungan Andes yang ganas, para penyintas Penerbangan 571 Uruguay membuat perjanjian yang mengerikan: "Jika salah satu dari kami mati, yang lain wajib memakan tubuh mereka," ungkap Roberto Canessa, salah satu penyintas.
Keputusan ini, meskipun didorong oleh rasa putus asa dan dorongan kuat untuk bertahan hidup, merupakan tindakan ekstrem yang membawa trauma mendalam bagi para penyintas. Carlitos Paez, penyintas lainnya, menggambarkan pengalamannya memakan daging manusia dengan kalimat yang menusuk, "Bagi yang penasaran, manusia tidak merasakan apa-apa, sungguh," seperti dikutip dari The Independent.
Para penyintas memulai dengan memakan potongan kulit dan lemak, sebelum beralih ke otot dan otak. Piers Paul Read, penulis buku "Alive: The Story of the Andes Survivors", menggambarkan prosesnya dengan kata-kata yang mengerikan: "Mereka kehilangan hambatan. Mereka mulai makan dari tengkorak, membuat masakan dari daging."
Setelah 72 hari terjebak di neraka Andes, pada tanggal 22 Desember 1972, helikopter penyelamat akhirnya tiba. Korban selamat yang tersisa, yang jumlahnya telah menyusut menjadi 16 orang, diangkat ke tempat yang aman pada hari berikutnya.
Tragedi Andes menjadi pengingat kelam tentang batas-batas moral manusia dalam situasi ekstrem. Para penyintas, meskipun dipaksa oleh keadaan untuk melakukan tindakan yang tak terbayangkan, menanggung luka emosional dan mental yang mendalam. Kisah mereka adalah kisah tentang ketahanan dan tekad untuk hidup, namun juga kisah tentang trauma dan konsekuensi moral yang mengerikan.
Editor : Vitrianda Hilba Siregar