get app
inews
Aa Read Next : BNPT Tegaskan Tak Ada Kaitan Terorisme dengan Agama

Pelajar, Radikalisme, dan Budaya Literasi

Selasa, 05 Juli 2022 | 16:01 WIB
header img
Calon Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Muhammad Ishomuddin Haidar

MADINA, iNews.id - Penyebaran paham radikalisme di Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman (mega diversity country) kian semakin mengkhawatirkan, proses penyebaran yang masif dengan mengatasnamakan banyak hal yang terkadang membuat kita ‘kelabakan’ dalam menanganinya, dan yang menggelitikkan lagi adalah radikalisasi seringkali didesain seakan-akan berkaitan erat dengan agama baik secara nilai (value) maupun simbol. 

Akan tetapi yang lebih parah lagi adalah mereka selalu menyeret ajaran agama sebagai pembenaran, padahal hal tersebut tentu sangat berlainan dengan nilai dan ajaran agama apapun. 

Sementara beberapa fakta menunjukkan radikalisme yang selama ini banyak mengatasnamakan agama sebenarnya lebih mengakar pada alasan atau kepentingan politik, misalnya terbentuknya Islamic State of Irak and Syiria (ISIS) yang banyak melakukan kekerasan dan teror semata-mata orientasinya adalah untuk menyingkirkan lawan politik atau kelompok yang berlainan paham dengan mereka. 

Sebenarnya secara garis besar, ada tiga faktor yang kemudian menjadi pendorong dalam penyebaran paham radikalisme ini, seperti yang disebutkan dalam sebuah jurnal studi agama dan pemikiran islam yang bertajuk Radikalisme di Indonesia: Antara Historitas dan Antropisitas. 

Pertama, perkembangan dari tingkat global seperti potret situasi yang kacau di Negara-negara timur tengah. Kedua, tersebarnya paham wahabi yang berasal dari Arab Saudi. Dan yang ketiga, faktor kemiskinan.

Paham radikalisme menyebar melalui celah-celah kecil dengan memanfaatkan kelengahan-kelengahan seseorang yang kemudian merangsek masuk kepada target sasaran penyebarannya yang juga tak pandang usia, jenis kelamin hingga kelas sosial, utamanya mengacu tiga entitas yang berdasarkan data temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2020 paling rentan terpapar radikalisme yakni anak muda, masyarakat urban dan perempuan. 

Bicara ketiga entitas tersebut tak bisa dielakkan dari perkembangan zaman utamanya media sosial yang luar biasa yang kemudian menjadi jalur penyebaran bibit radikalisme baru dan memiliki potensi besar yang akan meledak dikemudian hari dan kekhawatiran ini hanya soal bom waktu saja. 

Faktor kekuatan penyebaran media sosial yang bersifat borderless ini menjadi tantangan besar bagi komponen deradikalisasi seluruhnya agar efektifitas preventif kemudian menjadi solutif pada sasaran programnya. 

Sementara itu hasil monitoring BNPT bersama Kepolisian, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelejen Nasional (BIN) maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika cukup mencengangkan, sebab darisana ditemukan 600 akun berpotensi radikal yang kemudian melahirkan 650 konten propaganda, 409 diantaranya termasuk konten yang bersifat umum dan merupakan konten informasi serangan. 

Selanjutnya ada 147 konten anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), 85 konten anti Pancasila, dan 7 konten bernada intoleran dan ada 2 konten beraroma paham takfiri serta 40 konten tentang pendanaan terorisme.

Sebuah hipotesa baru soal problem individu yang berkaitan dengan konsumerisme informasi global yakni punya cara khusus dalam penyerapan berita informasi yang hanya sekedar melihat headline berita (news headline literation) tanpa melihat lebih jauh isi berita yang didapat dari sumber – sumber terverifikasi misalnya, alih – alih melakukan komparasi informasi tersebut, malah kemudian mengamini berita tersebut menjadi kebenaran subjektif, ini merupakan problem yang tak dapat dianggap kecil urusannya. 

Semakin lama pola konsumerisme yang tidak komprehensif maka daya nalar individu tersebut akan mudah sekali dilakukan doktrinasi suatu kelompok aliran menyimpang. Setidaknya ada 3 langkah strategis yang dapat diamalkan untuk mencegah perkembangbiakan bibit radikalisme. 

Ketiga langkah itu yakni penelusuran secara berkala dan terstruktur dengan mengetahui kelompok-kelompok yang berisiko berafiliasi paham radikalisme, mengembangkan program deradikalisasi melalui budaya cerdas berliterasi digital, dan memaksimalkan kerjasama dengan banyak pihak untuk mengedukasi yang mendukung perilaku radikal.

Editor : Abdulloh Hilmi

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut