Dia menyebutkan, perekonomian global terus diwarnai dengan meningkatnya inflasi di tengah pertumbuhan yang diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina, yang disertai dengan pengenaan sanksi yang lebih luas dan kebijakan Zero COVID-19 di China, menahan perbaikan gangguan rantai pasokan.
"Gangguan dari sisi suplai tersebut disertai dengan meluasnya kebijakan proteksionisme terutama pangan oleh berbagai negara, mendorong tingginya harga komoditas global yang berdampak pada peningkatan tekanan inflasi global. Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), merespons kenaikan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi," paparnya.
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, China, dan India diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Volume perdagangan dunia juga diperkirakan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
"Perkembangan tersebut berdampak pada ketidakpastian pasar keuangan global yang masih akan tetap tinggi sehingga mendorong terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia." pungkas Perry.
Editor : Abdulloh Hilmi