MANDAILING NATAL, iNews.id - Perkara minyak goreng menjadi benang kusut belakangan ini. Pergantian nahkoda di kementerian perdagangan, salah satunya untuk membawa minyak goreng terjangkau sampai, bahkan di dapur ibu Darmiah, di pelosok Agam Sumatera Barat. Optimisme hadir ketika peryataan pertama Mendag Zulhas setelah dilantik, “saya akan benahi tata kelola minyak goreng”. Political Will yang menunjukkan mendag baru langsung tancap gas, tak lagi fa fi fu.
Memang pekerjaan rumah mendag sangat banyak dan mendesak terutama terkait ancaman inflasi dan perdagangan kripto tapi stabilisasi minyak goreng menjadi ujian pertama yang mendesak. Kalau lulus, insyaAllah setelahnya Kementerian Perdagangan akan semakin terdePAN
Langkah untuk membenahi tata kelola minyak goreng sangat tepat karena memang masalah utama minyak goreng langka dan mahal karena lemahnya tata kelola minyak goreng nasional. Dimulai dari mahalnya Covid, Harga CPO global ke level all time high, masih lemahnya DMO sampai pergeseran konsumsi minyak goreng ke biodiesel menjadi variabel penentu sengkarutnya minyak goreng belakangan ini.
Celakannya mekanisme pasar bekerja dalam rantai pasok minyak goreng domestik, setidaknya diawali dengan naiknya harga CPO global membuat pilihan untuk menggenjot ekspor lebih rasional daripada diperuntukkan produksi minyak goreng domestik. Selain itu, kebijakan biodisel juga membuat pergeseran konsumsi CPO domestik dari pangan ke energi menjadikan tradeoff atas dua kebutuhan publik tesebut.
Data BPS (2022) menunjukkan bahwa proyeksi penyerapan CPO untuk biodisel di tahun ini mencapai 42,9 persen atau meningkat lebih dari 4 persen dari tahun 2021 sedangkan untuk pangan menurun dari 48,4 persen pada 2021 dan diproyeksikan hanya mencapai 46,6 persen pada 2022. Artinya ada trade off antara kebutuhan pasokan untuk pangan dengan kebutuhan untuk energi.
Sebenarnya kita memiliki modal yang cukup bagus untuk memulai mengurai benang kusut minyak goreng. Setidaknya dalam kerangka jangka panjang pemerintah perlu memulai mengakselerasi produksi CPO baik membenahi tata kelola produksi dengan menggenjot petani plasma, replanting perkebunan sawit yang mulai tidak produktif sampai pada dukungan kepada petani baik melalui distribusi pupuk dan pendanaan.
Selain kerangka jangka panjang, pemerintah juga harus menyelesaikan masalah krusial minyak goreng dengan memulai menegakkan DMO. Tidak boleh lagi ada perusahaan – perusahaan yang tidak memenuhi DMO. Setelah masalah pasokan selesai maka menyelesaikan trade off dengan pendekatan cost and benefit dengan mengutamakan kemaslahatan secara langsung kepada rakyat harus lebih diutamakan.
Instrumen “dana abadi sawit” yang di kelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebenarnya menjadi modal utama untuk menemukan titik keseimbangan pilihan dilematis antara energi dan kebutuhan minyak goreng. Apabila melihat apa yang sudah berjalan, proyek biodisel telah disubsidi oleh BPDPKS sebesasar 110 triliun.
Maka mengaudit dan mengevaluasi subsidi BPDPKS langkah pertama yang harus dilakukan. Selanjutnya pilihan subsidi harus lebih fleksibel dana abadi sawit yang ada BPDPKS seharusnya juga tidak difokuskan hanya pada proyek Biodisel tetapi juga untuk mensubsidi produksi dan harga minyak goreng apabila bergerak fluktuatif diatas kemampuan daya beli masyarakat. Fleksibilatas dan kemampuan “mendayung dua karang” untuk menemukan titik keseimbangan dari dua dilema antara keperluan sawit untuk pangan atau energi sangat dibutuhkan.
Mengutamakan sawit untuk energi memang penting untuk memulai mengurangi ketergantungan Indonesia atas energi fosil atau biodiesel tapi sawit untuk pangan juga sangat penting karena tidak hanya kebutuhan masyarakat terpenuhi karena minyak terjangkau, inflasi juga lebih terkendali. Selain itu juga memimimalisir unintended consequences atas kenaikan harga minyak goreng yaitu UMKM yang produksi utamanya minyak goreng bisa kembali kompetitif. Kebijakan yang demikian yang penulis sebut sebagai pengutamaan kemaslahatan untuk masyarakat.
Pekerjaan rumah minyak goreng akan sedikit memakan waktu. Butuh langkah taktis yang cepat untuk menyelesaikannya. Pilihan kebijakan dengan subsidi minyak goreng setidaknya dapat menjadi jalan keluar, tentu tantangannya akan sangat clasic yaitu akurasi data. Jalan keluarnya harus kolaborasi antar stakeholder agar subsidi tepat sasaran.
Disinilah kemampuan nahkoda kementerian perdangangan benar – benar diuji oleh Bang Zul, begitu biasanya kami memanggil, dengan banyaknya pengalaman sebagai politisi teknokrat, saya yakin akan dapat mengatasi masalah tersebut.
Kesempatan yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada Bang Zul, menjadi sebuah haraPAN baru bagi permasalahan sengkarut minyak goreng yang hampir 1 tahun belum menunjukkan progres yang signifikan, karena saling serangkutnya tata kelola sawit dari hulu hingga hilir. Langkah baru untuk haraPAN yang lebih besar sudah di depan mata. Sekarang tinggal kerja keras dan mewujudkan kalau haraPAN baru itu ada.
Oleh:
FEBRI WAHYUNI SABRAN
Jubir Muda DPP PAN
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi dan Kebijakan Bisnis Universitas Indonesia
Editor : Abdulloh Hilmi
Artikel Terkait