PADANG, iNews.id - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyebut mayoritas pakar hukum tata negara sudah membahas dan mengupas tuntas tentang Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
Dengan kesimpulan bahwa pasal tersebut selain merugikan bangsa ini, juga tidak derivative dari Pasal 6A Konstitusi kita.
“Itu saya dengar dari beberapa FGD atau seminar tentang presidential threshold yang digelar di beberapa perguruan tingi. Baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi,” tutur LaNyalla saat menyampaikan Keynote Speech di Focus Group Discussion Universitas Andalas Padang, Jumat (17/6/2022).
Apa yang disampaikan LaNyalla tidak salah. Karena dalam FGD di Universitas Andalas, Sumatera Barat, dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Dr. Asrinaldi yang menjadi narasumber FGD juga menyatakan hal yang sama. Bahwa presidential threshold mutlak dihapus.
Karena menurutnya, presidential threshold membuka celah masuknya Oligarki ekonomi untuk terlibat mendisain koalisi besar partai politik yang sangat mahal biayanya.
“Dari mana capres dan cawapres memiliki dana yang begitu besar? Sementara kita bisa menghitung secara kasat mata berapa biaya pilpres,” tanya Asrinaldi.
Oleh karena itu, ia menilai jika negara ini konsisten dengan pola rekruitmen calon pemimpin nasional melalui partai politik, maka jalan satu-satunya adalah partai politik harus direformasi. Harus menjadi partai politik moderen.
“Kita memang berharap para ketua umum partai politik yang sekarang ada di Senayan, yang hanya 9 orang itu benar-benar berpikir tentang negara dengan semangat kecintaan kepada tanah air. Sehingga mereka mereformasi diri,” tukasnya.
Narasumber lain dalam FGD itu, wartawan senior Sefdin Syaifudin sangsi upaya mereformasi diri bisa timbul dari dalam partai politik di Indonesia saat ini. Sebab, lahirnya Pasal 222 UU Pemilu juga produk partai politik. Karena UU tersebut dibentuk DPR bersama pemerintah.
“Jika mereka sepakat dengan pikiran para akademisi, tentu sudah melakukan legislative review. Sehingga publik atau bahkan Lembaga DPD RI tidak perlu sampai melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Itu artinya tidak ada semangat untuk itu,” tukas Sefdin.
Ditambahkan staf khusus Ketua DPD RI itu, keterkaitan antara ketidakadilan yang disebabkan kebijakan yang berpihak kepada Oligarki ekonomi tidak bisa dipungkiri telah menyumbang kemiskinan struktural.
Sehingga hipotesa yang disampaikan Ketua DPD RI bahwa ada keterkaitan erat antara presidential threshold, oligarki ekonomi dan kemiskinan struktural sudah benar.
“Ada banyak referensi soal itu. Baik jurnal ilmiah, maupun hasil penelitian. Jadi sekarang diskusi kita adalah dari mana memotong atau mengikis habis oligarki ekonomi. Salah satunya sudah benar, melalui uji pasal itu di Mahkamah Konstitusi. Dan itu sedang ditempuh DPD RI,” urainya.
Namun, Sefdin lebih sependapat dengan mengatasi secara fundamental. Yaitu dengan mengembalikan Konstitusi Indonesia kepada nilai dan sistem yang digagas para pendiri bangsa. Tentu dengan dilakukan penyempurnaan melalui addendum.
Sehingga tidak mengubah bentuk dan sistem demokrasi asli Indonesia yang didisain para pendiri bangsa kita. Yaitu Demokrasi Pancasila, yang bercirikan wadah yang utuh, yang menampung semua elemen bangsa tanpa ada yang ditinggal dalam posisi yang equal.
“Karena itu wajar tadi Ketua DPD menyebut bahwa bangsa ini telah durhaka kepada para pendiri bangsa saat mengubah total sistem demokrasi Indonesia melalui Amandemen tahun 1999-2002 silam. Dan menurut saya, bangsa ini durhaka banget kepada Sumatera Barat, karena di sini gudangnya para pendiri bangsa,” pungkas Sefdin.
Seperti diberitakan sebelumnya, LaNyalla hadir didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainudin, Senator Sumatera Barat Leonardy Harmainy dan Alirman Sori, Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Staf Ahli Ketua DPD RI Baso Juherman.
Sementara dari pihak Universitas Andalas hadir Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Universitas Andalas Prof. Mansyurdin beserta jajarannya dan para mahasiswa Fakultas Hukum dan Politik.
Editor : Abdulloh Hilmi
Artikel Terkait