Mandailing Natal, iNews.id - Dalam momentum Hari Guru tiga tahun lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan sebuah pidato singkat, namun sangat reflektif. Sebuah pidato yang dikemas dan dirancang dalam rangka menggugah kesadaran insan pendidikan, tentang gagasan yang tengah ia ikhtiarkan bersama-sama, yakni Merdeka Belajar.
Nadiem berujar bahwa tugas guru adalah tugas yang paling mulia sekaligus paling berat. Ia bertutur;
"Guru Indonesia. Anda ditugaskan untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberikan aturan daripada pertolongan.
Anda ingin membantu murid yang tertinggal di kelas, tetapi waktu anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.
Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak bisa diukur dari hasil ujian, tapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.
Anda ingin mengajak murid ke luar kelas, tapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.
Anda tahu setiap anak mempunyai kebutuhan yang berbeda, namun keseragaman telah mengalahkan keberagaman".
Pidato di atas menggambarkan situasi yang dilematis. Di satu sisi Mas Menteri menginginkan pendidikan terbang tinggi mengudara, sementara warisan sistem yang turun temurun masih menjadi batu sandungan atau hambatan kemajuan. Ia memimpikan pendidikan yang progresif, sementara realitas pada galibnya menunjukkan stagnasi. Realitas yang pada perjalanannya menjadi titik tolak sebuah gagasan brilian bernama "Merdeka Belajar". Sebab kemerdekaan adalah hakikat dan esensi.
Seorang penyair tersohor dan legendaris dari Lebanon, Khalil Gibran, pernah menggubah puisi yang beririsan soal ini. Puisi yang ia beri judul dalam versi bahasa Inggris; "Your Children are not Your Children", Anakmu Bukan Milikmu. Artinya, bahkan dalam relasi orang tua dan anak yang terkait biologis saja, kemerdekaan tetap menjadi hak asasi. Anak bagi Khalil Gibran adalah anak-anak panah yang akan sampai pada tujuannya sendiri-sendiri.
Oleh karena itu pula lah dalam pembukaan UUD 1945 tegas disebutkan bahwa Kemerdekaan adalah Hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Saking vitalnya kata merdeka, perjuangan atasnya dalam sejarah bangsa kita membutuhkan rentang waktu yang tidak kurang dari tiga setengah abad.
Tiga Dosa Besar Dalam Pendidikan
Dalam ikhtiar mengidentifikasi masalah yang menahun dalam dunia pendidikan kita, Mas Menteri Nadiem Makarim beserta para stakeholders pada akhirnya sampai pada kesimpulan tentang apa yang sejatinya menjadi hambatan dalam pendidikan kita. Terangkum dalam istilah tiga dosa besar dalam pendidikan; Pertama Intoleransi, Kedua Kekerasan Seksual, dan Ketiga Perundungan/Bullying.
Tiga dosa besar di atas, ditemukan di mana-mana dengan berbagai macam varian kasus. Melukai kemanusiaan, merenggut kemerdekaan. Dalam realitas yang sangat beragam/heterogen, yang terjadi malah intoleransi. Dalam realitas dunia yang semakin modern, kekerasan seksual justru langgeng. Demikian pula perundungan yang selama ini seolah menjadi tradisi yang benar, diwariskan turun temurun. Padahal dunia sudah bergerak sangat maju beriringan dengan disrupsi teknologi digital.
Artinya, Merdeka Belajar yang dimimpikan Nadiem Makarim adalah rute panjang, terjal, dan berliku. Namun meski demikian, layar sudah terkembang. Merdeka Belajar sudah mewujud dalam sejumlah kebijakan turunan, di antaranya Kampus Merdeka yang di dalamnya ada Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang kini menjadi salah satu program paling populer untuk pelajar di level mahasiswa.
Program di atas pada perjalanannya cukup menggugah, menginspirasi, dan menggerakkan banyak elemen untuk turut menjadi bagian dari sejarah perubahan. Pendidikan kita nampak lebih siap menangkap sinyal-sinyal perubahan yang semakin cepat dan distruptif. Karena selain perangkat yang semakin modern, mentalitas untuk berpikir maju dan mendunia juga terus disiapkan.
Di bawah racikan tangan Nadiem Makarim, pendidikan yang sedianya berwatak kaku dan penuh aturan, kini sudah banyak bertansformasi, dari yang semula hanya bersifat Top-Down dan cenderung doktriner, menjadi pendidikan yang berwatak partisipatif. Sebagaimana pesan dari Ki Hadjar Dewantara:
"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu".
Sekian.
Oleh:
Sinta Lestari, M.Si
(Alumni Program Magister Komunikasi Universitas Indonesia)
Editor : Abdulloh Hilmi
Artikel Terkait