PADANGSIDIMPUAN, iNewsMadina.id - Mustapa Kamal Siregar menggugat penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi ADD 2023. Dalam sidang praperadilan, kuasa hukum Mustapa mengungkapkan bahwa penangkapan kliennya dilakukan secara tidak sah dan melanggar prosedur hukum.
Mustapa ditangkap tanpa surat perintah, diperiksa tanpa didampingi pengacara, dan bahkan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.
Sidang perdana Pra Peradilan penetapan tersangka terhadap Mustapa Kamal Siregar dalam perkara dugaan korupsi pemotongan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2023 sebesar 18 persen oleh Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan digelar di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Jumat (26/7/2024) siang.
Dalam sidang yang berlangsung di ruang sidang Tirta tersebut, terkuak Mustapa sempat dibentak Kajari Padangsidimpuan, Lambok MJ Sidabutar lantaran tidak mengindakan perintah.
Sidang yang dipimpin hakim tunggal, Irfan Hasan Lubis ini dimulai pada pukul 11.00 WIB. Dimana, pihak pemohon tampak dihadiri oleh kuasa hukum Mustafa, Marwan Rangkuti dan Rekan dan termohon 3 yakni Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, Lambok MJ Sidabutar yang diwakili Jaksa Kejari Padangsidimpuan, Batara Ebenezer dan Ishak Zainal Abidin Piliang.
Sedangkan termohon 1 yakni Jaksa Agung dan termohon 2 , Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara tidak hadir. Kendati demikian, Majelis Hakim melanjutkan persidangan lantaran pihaknya telah menyurati termohon 1 dan termohon 2 sebanyak 2 kali.
Dihadapan Majelis Hakim, pihak pemohon melalui kuasa hukumnya menyampaikan beberapa poin yang menjadi gugatan pra peradilan. Dimana pada tanggal 3 Juli 2024 sekira pukul 15.30 WIB, pemohon Mustapa dipanggil atasannya untuk datang ke Kantor Wali Kota Padangsidimpuan guna menemui Sekda Kota Padangsidimpuan. Dan sekira pukul 15.45 WIB, pemohon pun tiba menuju ruangan Sekda.
“Sekitar 5 sampai 10 menit, ternyata tiba-tiba datang beberapa orang dari Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan yang langsung memegang tangan pemohon dengan mengatakan bahwa mereka penyidik Termohon 3 dan meminta secara paksa agar pemohon untuk ikut ke Kantor Kejari Padangsidimpuan tanpa memperlihatkan surat apapun dan atau menjelaskan kepada pemohon alasan ia ditangkap penyidik termohon 3. Dan karena merasa ketakutan, pemohon pun mengikuti perintaj penyidik termohon 3,” ujar Marwan.
Kemudian, lanjutnya, pemohon dan penyidik termohon 3 tiba di kantor termohon 3 sekira pukul 16.15 WIB. Selanjutnya, pemohon diperiksa sebagai tersanhka oleh penyidik termohon 3 tanpa didampingi oleh pengacara ataupun disarankan untuk menggunakan pengacara oleh termohon 3.
“Setelah pemohon selesai diperiksa oleh termohon 3 sekira pukul 20.35 WIB. Pemohon dibawa bersama orang lain yang menurut penyidik adalah Bendahara Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kota Padangsidimpuan untuk menuju ke rumah pemohon. Dan setelah sampai di rumah pemohon tanpa didampingi saksi Kepala Lingkungan atau Ketua RT/RW setempat, penyidik termohon 3 memaksa pemohon untuk membuka pintu rumah. Dan setelah rumah pemohon dibuka, beberapa penyidik ternohon 3 bersama Bendahara PMK tersebut pun langsung menerobos masuk dan memfoto isi dalam rumah maupun memfoto pemohon bersama bendahara tersebut tanpa tahu tujuannya maupun meminta izin pemohon dan penggeledahan tersebut dilakukan penyidik termohon 3 tanpa memperlihatkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Padangsidimpuan,” beber Marwan.
Kemudian, pemohon dan Bendahara PMK dibawa ke kantor termohon 3. Tidak beberapa lama, pemohon diinformasikan oleh pebyidik termohon 3 atas perkara tersebut ianya ditahan oleh termohon 3 dan disuruh untuk naik ke mobil tahanan guna dihawa menuju Lapas Salambue Padangsidimpuan.
“Dan anehnya, hanya pemohon yang diberitahukan untuk ditahan dan dibawa ke Lapas Salambue oleh termohon 3. Padahal saat penggeledahan di rumah pekohon, selain tidak ada ditemukan apapun atau barang yang dibawa penyidik termohon 3, saat itu pemohon juga bersama Bendahara PMK Padangsidimpuan.
“Kemudian pada tanggal 4 Juli 2024 pada pagi hari, staf termohon 3 datang ke Lapas tempat pemohon ditahan. Dan menyerahkan surat perintah penahanan pemohon dan meminta pemohon untuk menandatangani surat tersebut. Namun saat itu juga, pemohon tidak ada di dampingi pengacara dan karena kurang mengerti hukum, akhirnya surat itupun ditandatangani,” tambah Marwan.
Selain itu, yang membingungkan pemohon terkait adanya perkara yang disidik termohon 3 tersebut mengapa pemohon bisa langsung ditangkap dan ditahan. Jikapun seandainya benar quid non atas perkara itu, pemohon telah ditetapkan tersanhka oleh termohon 3.
“Bukankah sepatutnya langkah hukum terlebih dahulu dilakukan para termohon adalah memanggil pemohon dengan surat panggilan resmi yang patut menurut hukum, mulai panggilan pertama dan panggilan kedua, dan bilamana pemohon mengabaikan panggilan itu, barulah dapat dibenarkan tergugat 3 mengambil upaya paksa terhadap pemohon,” tegas kuasa hukum pemohon, Jon Melki Sidabutar.
Kemudian, sambung Jon, bahwa justru fakta yang dialami pemohon, surat penetapan tersangka pemohon baru diberitahukan dan diserahkan kepada pemohon oleh termohon 3 setelah pemohon ditangkap atau dibawa oaksa termohon 3 dari Kantor Wali Kota Padangsidimpuan tanggal 4 Juli 2024 sekira pukul 16.00 WIB ke kantor termohon 3 disaat pemohon akan diperiksa dihadapan penyidik termohon 3.
“Bagakana mungkin bisa dijadikan tersangka oleh termohon 3, padahal terkait adanya dugaan perkara pemotongan dana ADD tahun 2023 yang disidik termohon 3 bukanlah berada di tempat pemohon bekerja di Kasi BKD Kota Padangsidimpuan, melainkan berada di Kantor PMK. Sebeb Kantor PNI lah yang membidangi menyangkyt masalah Dana ADD tahun 2023 buka BKD,” tegas Jon.
Berdasarkan beberaa ketentuan hukum yang berlaku, maka secara defacto dan dejure tindakan para termohon bertentangan dengan hukum dan tidak sah. Karena para termohon secara dejure tidak dibenarkan melakukan penangkapan kecuali dalam hal perkara tertangkap tangan hanya penyidikkan untuk pidana korupsi.
“Karena kewenangan penangkapan hanya ada pada Polri dalam hal ini penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf d Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tetang KUHAP yang berbunyi, penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf a, karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukak penangkapan, penahanan, dan penyitaan. Dan juga penyidik KPK hal ini ditegaskan dalam Pasal 38 ayat 1 UU KPK yang berbunyi, segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyiduk, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi,” terangnya.
“Beradasrkan ketentuan yang ad di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terkait proses penangkapan tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang itu. Kecuali, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat 1 yakni dibidang pidana. Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang, melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawas, dan keputusan lepas bersyarakat. Kemudian, melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu bedasarkan undang-undang, melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Begitu juga yang dikelaskan berdasarkan Pasal 13 KUHAPidana jelas disebutkan bahwa penuntut umum mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim,” tegasnya.
Oleh karena pemohon pada tanggal 3 Juli 2024 sekira pukul 15.45 WIB telah ditangkap atau dibawa paksa oleh penyidik termohon 3 di depan umum. Maka jelaslah proses penangkapan tersebut bertentangan dengan hukum dan melampaui kewenangan yang diberikan undang-undang yang sangat merugikan pemohon.
“Sehingga dengan demikian, proses penangkapan pemohon adalah tidak sah dan kesewenang-wenangan tergugat 3 yang melanggar Hak Azazi Pemohon,” pungkasnya.
Kemudian, Marwan menambahkan, pada saat kliennya dibawa ke ruangan pemeriksaan sebelum pemohon diperiksa penyidik, termohon 3 yang ada di ruangan penyidik meminta dan membujuk pemohon afar pemohon bersedia menerangkan dalam pemeriksaan itu bahwa pemohon ada menerima paket atau brrkas dari Bendahara PMD Kota Padangsidimpuan dengan janji termohon 3 akan membantu pemohon dalam perkara tersebut. Namun karena pemohon merasa tidak pernah ada berurusan terkait dan tidak mengerti tentang adanya proyek dana ADD dengan Bendahara PMK Kota Padangsidimpuan serta tidak pernah menerima apapun, maka pemohon menolak bujukan termohon 3.
“Dan secara tiba-tiba, termohon 3 menampar atau memukul meja penyidiknta yang ada di depannya hingga membuat berkas dan pulpen di atas meja itu jatuh sambil membentak pemohon dengan suara yang kuat yang membuat pemohon terkejut termasuk beberapa staf termohon 3. Setelah itu, termohon 3 langsung perintahkan penyidiknya untuk memeriksa pemohon dan menjadikan pemohon sebagai tersangka,” urainya.
“Dan jika tindakan termohon 3 tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 52 KUHAP, jelas pemaksaan kehendak dengan cara bujuk rayu oleh termohon 3 adalah bertentangan dengan hukum dan tidak sah,” pungkas Marwan.
Setelah mendengar pernyataan pemohon tersebut, Majelis Hakim mempersilahkan pihak termohon 3 untuk memberikan tanggapan. Namun lantaran termohon3 tidak memberikan tanggapan, Majelis Hakim pun menunda sidang pad Senin (29/5/2024) mendatang dengan agenda jawaban oleh termohon.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta