RENDAHNYA BUDAYA LITERASI
Sayangnya, hampir dari semua data selalu menunjukkan tingkat literasi, utamanya literasi baca, tulis dan digital anak Indonesia berada diklasemen bawah. Seperti data UESCO misalnya, yang menunjukkan bahwa indeks kegemaran membaca anak Indonesia hanya 0,001 persen yang artinya dari seribu anak Indonesia hanya satu yang gemar membaca, selain itu sebuah riset Connectycut University yang bertajuk the most literate nastion in the world yang memposisikan Indonesia di posisi enam puluh satu dari enam puluh dua negara.
Belum lagi Programme for International Student Assassement (PISA) yang memposisikan Indonesia di posisi tujuh puluh dua dari seratus tiga puluh dua negara. Sementara Indeks Literasi Digital Indonesia berada pada angka 3,49 persen.
Darisanalah kemudian dapat dideskripsikan bahwa betapa kecakapan literasi di Indonesia cukup mencemaskan, menimbulkan tanda tanya.
MENANGKAL RADIKALISME
Barangkali sejenak kita dapat merefleksikan sebuah histori Bangsa Arab dan Zionis, dalam sebuah artikel disebutkan bahwa sebenarnya rencana zionis untuk menduduki Palestina itu sudah diketahui sejak lama bahkan rencana tersebut diungkapkan lima puluh tahun sebelum pendudukan.
Lantas mengapa kemudian mereka tidak takut orang Arab akan membaca rencana mereka dan ujung-ujungnya akan menggagalkan rencana mereka?
Ternyata ada seorang Yahudi yang dikutip oleh DR Raghib As-Sirjani dalam bukunya, Spriritual Reading; hidup lebih bermakna dengan membaca mengatakan bahwa “Kita orang Yahudi tidak takut dengan umat Islam, karena umat Islam adalah umat yang malas membaca.”
Senada dengan hal tersebut, seorang mantan menteri pertahanan Israel, Moshe Dayan mengungkapkan alasan mereka tidak takut dengan umat Islam “Yakinlah, mereka itu malas membaca, dan jika mereka membaca tidak mengerti, dan jika mereka mengerti, mereka tidak bertindak.”
Padahal, sejarah telah mencatat bagaimana kejayaan Islam dimasa lalu dibangun dengan budaya membaca yang kuat hingga melahirkan ilmuan besar seperti Ibnu Syna, Ibnu Rusdy dll. Kisah diatas barangkali menjadi sinyal akan pentingnya membaca. Lantas dalam konteks penanganan radikalisme barangkali membaca merupakan senjata yang mematikan The Deadly Weapon.
Orang yang malas membaca tentu menjadikan pola pikir dan pemikiran mereka serta pengetahuan mereka menjadi dangkal serta mudah terprovokasi. Maka orang yang terdidik dan luas bacaannya akan mustahil bersudut pandang sempit, dan radikal, dan juga orang yang literat akan memiliki kebijaksanaan dalam menyikapi, menilai dan mengambil keputusan.
Maka yang perlu kemudian multi pihak (pentahelix) bergotong-royong menggelorakan literasi dengan membuat masyarakat dapat menggemari pustaka, membuat dan mengarahkan masyarakat agar dapat memilah dan memilih bacaan yang tepat, serta memahamkan bahwa membaca adalah sebuat kebutuhan bukan tuntutan semata.
Sebab membaca mempunyai impact yang bagus dalam membangun konstruk berpikir, seperti adagium yang sering didengungkan bahwa hati-hati dengan pikiranmu, karena akan menjadi ucapanmu, hati-hati dengan ucapanmu karena akan menjadi tindakanmu, hati-hati dengan kebiasaanmu karena akan karena menjadi karaktermu
Oleh:
Muhammad Ishomuddin Haidar
(Calon Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama)
Editor : Abdulloh Hilmi
Artikel Terkait