Sri Lanka telah gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya dalam sejarahnya ketika negara itu berjuang dengan krisis keuangan terburuknya dalam lebih dari 70 tahun.
Masa tenggang 30 hari untuk menghasilkan USD78 juta pembayaran bunga utang yang belum dibayar berakhir pada pertengahan Mei 2022.
Gubernur bank sentral setempat saat itu mengatakan negara itu sekarang dalam "default pre-emptive".
Pada 19 Mei 2022, dua lembaga pemeringkat kredit terbesar di dunia juga mengatakan Sri Lanka telah gagal bayar utang alias default. Default terjadi ketika pemerintah tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh pembayaran utang mereka kepada kreditur.
Ini dapat merusak reputasi suatu negara di mata investor, mempersulitnya untuk meminjam uang yang dibutuhkannya di pasar internasional, yang selanjutnya dapat merusak kepercayaan pada mata uang dan ekonominya.
"Posisi kami sangat jelas, kami mengatakan bahwa sampai mereka datang ke restrukturisasi [utang kami], kami tidak akan mampu membayar. Jadi itulah yang Anda sebut default pre-emptive," kata Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P Nandalal Weerasinghe.
"Mungkin ada definisi teknisnya...dari sisi mereka bisa dianggap default. Posisi kami sangat jelas, sampai ada restrukturisasi utang, kami tidak bisa membayar," ujarnya.
Editor : Abdulloh Hilmi